Bukan barang baru, yang baru adalah nama. Mengganti apa yang terasa harus didudukkan kembali. Penguatan profil pelajar dilakukan lagi, juga dengan beralih nama, dan pelajar kini harus bisa menulis sebagai syarat kelulusan utama. Tak ada yang berbeda, hanya penguatan kembali. Jadi tepat, mau tidak mau kegiatan literasi harus dilakukan secara nyata karena syarat kelulusan siswa menengah atas adalah esai ilmiah.
Seperti menapaki jalanan ekspedisi, setiap ganti maskapai akan berubah pula peraturan pengiriman di dalamnya. Harga paket dengan ongkos kirimnya menjadi bahan utama perubahan. Tentu saja, demi menjaga kelangsungan perusahaan alih-alih perbaikan pelayanan, atas nama kenyamanan konsumen, aman saja terjadi. Seperti wacana yang sedang berkembang di dunia pendidikan, kurikulum pendidikan pun akan berganti (lagi?).
Hal di atas, menyikapi apa yang disampaikan “Mas” menteri pendidikan dalam perayaan hari guru nasional November tahun lalu. Ada pernyataan bahwa mulai tahun depan (tahun ajaran baru tahun ini) Kemendikbudristek akan menawarkan kurikulum yang lebih fleksibel. Digadangkan, kurikulum tersebut akan lebih berfokus pada materi yang esensial, tidak terlalu padat materi tetapi padat aplikasi. Alasan dari rencana perubahan itu adalah kepentingan memperhatikan “kenyamanan” agar guru mempunyai waktu untuk pengembangan karakter dan kompetensinya.
Ini juga diperkuat dengan adanya salindia yang resmi, yang dikeluarkan dari Kemendikbudristek mengenai kebijakan kurikulum bahwa kebijakan tersebut untuk membantu pemberian pembelajaran. Walau bukan pernyataan pasti, tetapi setidaknya telah membuat para peserta yang hadir secara resmi pada acara tanggal 20 November 2021 dalam kegiatan Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, beramai-ramai memberikan dan mengambil simpulan pekerjaan baru menanti.
Dalam wacana, kurikulum yang akan berubah dinamakan kurikulum prototipe (dan hal ini bukan barang baru dalam diskusi-diskusi kecil kawan-kawan guru). Menariknya, adanya semangat untuk mengubah adalah dengan alasan bahwa diperlukan obat atau sebagai opsi tambahan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran selama 2022-2024. Kebijakan kurikulum nasional akan dikaji ulang pada 2024 berdasarkan evaluasi selama masa pemulihan pembelajaran. Itu artinya, kurikulum prototipe sedang diterapkan secara terbatas pada kurang lebih 2.500-an sekolah melalui program sekolah penggerak.
Program sekolah penggerak adalah upaya untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia dalam menciptakan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila. Program ini berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik.
Pengertian secara holistik, yaitu pendidikan yang menerapkan konsep keseluruhan, merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seseorang individu dapat menentukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan masyarakat, lingkungan, dan nilai-nilai spiritual.
Secara eksplisit ditujukan untuk mengembangkan seluruh dimensi manusia, yaitu aspek akademik (kognitif), emosi, sosial, spiritual, motorik, dan kreativitas. Jadi dengan demikian, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter, diawali dengan SDM yang unggul. Ya, tentunya dimulai dari pimpinan (kepala sekolah dan guru).
Cita-cita utama program sekolah penggerak ini adalah penyempurnaan program sebelumnya. Dan ingin lebih mengakselerasi sekolah negeri/swasta di seluruh kondisi sekolah untuk bergerak satu atau dua langkah lebih maju.
Komunitas penggerak terdiri dari orang tua, tokoh, masyarakat dan adat, organisasi cendekiawan, sukarelawan, dan pemangku kepentingan lainnya perlu berkomitmen untuk bergotong-royong menciptakan inovasi-inovasi dengan tujuan baik dan berdampak baik bagi kualitas belajar murid Indonesia (?) Walau, selama ini yang kita sebut dengan dewan pendidikan tidak disinggung atau dievaluasi kinerjanya, setidaknya dapat disebutkan sebagai mitra membangun sekolah.
Selama masa pandemi, sistem pembelajaran semakin diupayakan inovatif dan kreatif dan memang terjadi akselerasi penggunaan teknologi di sekolah-sekolah. Walau tak dipungkiri pula masalah “keterbatasan” terjadi di sana sini. Mengingat pada masa pandemi jangankan berpikir tentang inovasi, berbicara tentang hari ini masih makan nasi? Masih terjadi sehari-hari. Bukan karena salah menteri, tapi memang situasi sedang transisi.
Maka, berkaitan dengan daya pemulihan pembelajaran tahun 2021 yang terbatas dan masih terasa menyisakan beragam kendala. Segala keterbatasan itu membuat ketidakoptimalan pencapaian. Untuk itu, bentuk evaluasi pemulihan akan diterapkan kemudian pada tahun 2022-2024 ini. Kemudian, dimulailah istilah opsi dijadikan pilihan bagi semua satuan pendidikan boleh memilih kurikulum prototipe ini. Hal yang menjadi titik fokusnya adalah pada karakteristik kurikulum di setiap jenjang, karakteristik ini yang akan membedakan dengan kurikulum sebelumnya.
Sebenarnya, sepengetahuan penulis, secara garis besar bentuk perbedaan pada kurikulum prototipe tak jauh dengan yang terdahulu, hanya saja kembali pada ketegasan tujuan dan fungsi yang tertuang dengan jelas tiap jenjang, dan tertulis secara nyata. Misalnya sistem pembelajaran PAUD kegiatan bermain sebagai proses belajar yang utama.
PAUD memberi penekanan pada kegiatan bermain sebagai proses belajar yang utama. Kemudian penguatan literasi dini dan penanaman karakter melalui kegiatan bermain-belajar berbasis buku bacaan anak. Kemudian fase fondasi untuk meningkatkan kesiapan sekolah.
Literasi melalui bacaan, pembelajaran berbasis proyek untuk penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan melalui kegiatan perayaan hari besar dan perayaan tradisi lokal. Jadi proyek ini disesuaikan dengan usia, kontekstual dengan situasi siswa membutuhkan literasi.
Kemudian untuk jenjang SD, penguatan kompetensi yang mendasar dan pemahaman holistik untuk memahami lingkungan sekitar, mata pelajaran IPA dan IPS digabung sebagai mata pelajaran ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS). Jadi ini salah satu bentuk perubahan juga.
Jadi ada bentuk penggabungan antara IPA dan IPS, dinamai dengan mata pelajaran baru yaitu IPAS. Kemudian ada integrasi computational thinking dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan IPAS, Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran pilihan. Pembelajaran berbasis proyek untuk penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan dan penagihan terjadwal, kegiatan literasi berperan.
Pada jenjang SMP penyesuaian dengan perkembangan teknologi digital dan pelajaran Informatika menjadi mata pelajaran wajib (lagi) setelah kemarin sempat ditiadakan kini diadakan lagi dengan nama mata pelajaran Informatika.
Untuk jenjang SMA dan sederajat juga mengalami penertiban mata pelajaran peminatan. Pada kelas 11 dan 12 pelajar mengikuti mata pelajaran dari kelompok mapel wajib, dan memilih mata pelajaran dari kelompok MIPA, IPS, Bahasa, dan keterampilan vokasi sesuai minat, bakat dan aspirasinya. Program pembelajaran tefa (teaching factory) menjadi kiblat gaya belajar yang mengutamakan pembelajaran berdaya guna bagi modal hidup siswa. Hal ini juga menuntut siswa pada jenjang ini melakukan analisis diri dengan membuat laporan karya tulis ilmiah agar dapat memenuhi persyaratan untuk lulus. Pelajar menulis esai ilmiah sebagai syarat kelulusan. Jadi yang berbeda masalah penguatan dan penekanan.
Kemudian untuk SMK dunia kerja dapat terlibat dalam pengembangan pembelajaran. Bahkan harus karena harus ada perkawinan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Kemudian struktur lebih sederhana dengan dua kelompok mata pelajaran yaitu umum dan kejuruan (dikenal dengan mata pelajaran umum dan mata pelajaran produktif). Persentase kelompok kejuruan meningkat dari 60 persen ke 70 persen. Artinya di SMK mata pelajaran umum bobotnya 30 persen sisanya adalah mata pelajaran kejuruan dengan praktik kerja lapangan selama enam bulan. Dengan demikian, mau tidak mau kegiatan literasi harus dilakukan oleh murid karena syarat kelulusan adalah esai ilmiah.
Kemudian ini yang berbeda, berpihak kepada kaum minoritas, kaum disabilitas. Capaian pembelajaran pendidikan khusus dibuat hanya untuk yang memiliki hambatan intelektual. Untuk pelajar di SLB yang tidak memiliki hambatan intelektual capaian pembelajarannya sama dengan sekolah reguler dengan menerapkan prinsip modifikasi kurikulum. Sama dengan pelajar di sekolah reguler, pelajar di SLB juga menerapkan pembelajaran berbasis proyek untuk menguatkan pelajar Pancasila dengan mengusung tema yang sama dengan sekolah reguler, dengan kedalaman materi dan aktivitas sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan pelajar SLB.
Dari uraian di atas dapat kita lihat benang merahnya. Perbedaan yang nyata adalah metode pelaksanaan namun konten utama adalah pencapaian keterampilan berbahasa yang dituntut dapat menggiring semua langkah. Memang keberhasilan tidak mungkin dicapai dalam waktu yang singkat. Perlu metode dan waktu yang efektif dengan penambahan hiasan dalam pembelajaran agar tujuan tercapai dan siswa semangat serta termotivasi untuk terampil dan pandai.
Adapun hiasan dalam pembelajaran yang dimaksud adalah dalam belajar perlu memperhatikan konten akademik, multigaya belajar, keterampilan berpikir, dan multikompetensi serta tujuan akhir. Dan jika capaian yang diharapkan masih belum memenuhi target pada masa pembelajaran efektif, dapat dilanjutkan pada program ekstralainnya.
Memang diakui, bahwa teknologi telah menjadi solusi utama kehidupan manusia, tetapi satu hal yang utama adalah bahwa manusialah yang menciptakan teknologi maka yang mengatur kehidupan adalah manusia, bukan teknologi. Maka untuk dapat berhasil dengan baik, dalam pembelajaran di sekolah memerlukan daya lingkungan yang kondusif.
Demikian tadi secara garis besar perubahan-perubahan yang terjadi atau lebih tepatnya penguatan dan penekanan terkait dengan perubahan kurikulum paradigma baru yaitu kurikulum prototipe. Tidak seharusnya kita anti terhadap perubahan apalagi yang bersifat perubahan nama dan suasana, karena memang kenyataannya waktu berubah dan kita insan pembelajar mau tidak mau harus menyesuaikan diri agar peserta didik kita mampu bersaing dan kuat sesuai dengan zamannya.
Mari kita mengembangkan pembelajaran yang merdeka belajar yang berpihak kepada murid. Mari kita merdekakan diri kita terlebih dahulu dari segala stigma negatif yang bernuansa politik. Mari kita buang rasa tak peduli, tampik rasa sungkan, pajankan dengan semangat literasi yang kuat.

Kurniati, M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia