Di sebuah dusun kecil yang sangat asri dan indah, ada seorang gadis kecil yang lucu. Gadis kecil itu bernama Serlina. Ia adalah seorang putri dari keluarga Bapak Samit dan Ibu Silawati. Keluarga Bapak Samit memiliki 4 orang anak, salah satunya adalah Serlina, si gadis kecil. Serlina terlahir sebagai anak bungsu sekaligus anak perempuan satu-satunya.
Dusun yang ia tinggali bernama Dusun Air Abik, biasa disebut dengan Aik Abik.
Dusun tersebut sangat kecil hanya ditempati kurang lebih 400 kepala keluarga. Di dusun inilah asalnya orang adat Bangka, yang sering dibicarakan itu. Ya, orang Lom. Sebuah tradisi yang menjadi ikon budaya Bangka. Namun, Serlina tetaplah tumbuh sebagaimana anak-anak sebayanya.
Serlina sangat berbeda dengan ketiga kakaknya yang memiliki postur tubuh tinggi, berkulit hitam, serta rambut keriting menyerupai bapak mereka. Sementara Serlina memiliki tubuh yang kecil, berpipi gempal. Ia pun tidak tinggi bahkan bisa dikatakan pendek. Matanya bulat, rambutnya ikal, namun suka berceloteh. Uh, betapa imutnya Serlina kecil jika dibandingkan dengan kakaknya.
Serlina kecil tidak dilahirkan dari keluarga kaya. Orang tuanya bekerja di ladang sebagai petani menanam lada, padi, dan lain sebagainya. Mereka tinggal di kebun, di sebuah pondok yang jauh dari pemukiman.
Oleh karena itu, masa kecil Serlina banyak dihabiskan di perkebunan bapaknya. Meskipun begitu, nampak ia sangat bahagia.
Karena terbiasa hidup di alam, Serlina tidak takut dengan apapun apalagi hanya dengan ulat atau serangga kecil. Bahkan terkadang Serlina lebih nakal daripada kakaknya yang ketiga. Iya, kakaknya yang ketiga itu walaupun berbadan besar, namun cengeng, suka menangis, berbeda dengan dirinya.
Kedua orang tua Serlina hanya bisa tertawa melihat tingkah putri semata wayang mereka. Apalagi jika gadis yang kecil itu sedang memarahi kakaknya, sangat lucu.
Serlina kecil ingin sekali menjadi seorang guru. Hal ini ia nyatakan kepada bapaknya setelah ia menonton sebuah film kartun. Sang bapak senang sekali, ia bangga putrinya telah memiliki cita-cita yang mulia. Lalu, Pak Samit membuatkan Serlina sebuah penggaris panjang dari papan sisa bangunan. Bapak membuatnya agar Serlina dapat bergaya menjadi ibu guru.
“Ini, untuk ibu guru kecil,” kata bapak sambil tersenyum kepadanya.
“Wah, terima kasih, Pak,” seru Serlina sangat bahagia. Apalagi ia akan masuk sekolah. Dan artinya ia akan pergi ke kampung setiap hari. Sungguh impian dan bahagia yang sangat sederhana.
Tiba masanya gadis kecil, Serlina bersekolah di sekolah dasar di Dusun Aik Abik, mengikuti jejak saudara-saudaranya menimba ilmu.
Sejak saat itu Serlina dan kakaknya yang telah duduk di kelas III, selalu dibonceng Bapak, bolak-balik dari kebun ke dusun –mereka menyebutnya kampung– untuk sekolah. Sebenarnya keluarga Serlina telah memiliki rumah di kampung. Tapi, entah mengapa bapaknya lebih senang menetap di kebun. Waktu Serlina bertanya, sederhana jawaban bapak, “Biar bapak lebih mudah bekerja,” kata Bapak kalem. Sebenarnya, tinggal di kebun cukup menyenangkan akan tetapi tinggal di kampung juga lebih enak.
Dalam hatinya ia ingin juga bermain bersama teman-temannya. Tapi, Serlina tak ingin membuat kedua orang tuanya sedih, ia pun menuruti kedua orang tuannya.
Perjalanan dari kebun ke sekolah tidaklah dekat, bahkan sangat jauh. Biasanya mereka berangkat sebelum pukul enam pagi. Medan jalan yang ditempuh sangat terjal di antara semak belukar perkebunan sawit. Jalan tanah yang dilaluipun tidak rata. Tanah berpasir itu sangat licin bila musim hujan, dan berdebu saat musim kemarau.
Jika musim penghujan tiba, Serlina dan kakaknya harus memakai plastik di sepatu, berjalan beriring di antara sepeda bapak. Sepeda hanya bisa dinaiki jika alur jalan bagus. Itu pun harus sangat berhati-hati agar sampai sekolah masih dalam keadaan bersih. Tak ada kata melelahkan. Walau setiap hari harus pulang-pergi ke kebun bapak. Tetapi apapun yang terjadi, Serlina kecil tetap tersenyum.
Hingga suatu saat, dunia kecil Serlina serasa sangat hancur. Saat itu usianya sembilan tahun. Cinta pertamanya harus meninggalkan dia dan keluarga untuk selamanya. Ya, bapak gadis itu meninggal dunia karena sakit. Penyakit stroke yang di derita orang tua itu selama satu tahun ini telah membuatnya kalah.
Serlina tak berhenti menangis. Baru kali ini ia begitu mengeluarkan air mata. Menganggap dunia sangat tidak adil untuknya. Ia masih kecil, mengapa bapaknya dipanggil Tuhan? Serlina pun menjadi kesal, kelakuannya mulai berubah.
Ia menjadi anak yang lebih nakal dari sebelumnya. Ia berkata kepada Ibunya, “Bu, mengapa Tuhan tak adil padaku?” Ia berkata pelan. Terkejut ibunya mendengar putri kecilnya berkata seperti itu.
“Hei, anak ibu tak boleh bicara seperti itu. Tuhan Maha Adil, kok. Lihat, sekarang Bapak telah tiada, artinya pemberi nafkah keluarga kita telah tiada. Tapi, apa kita tidak bisa makan? Bisa ‘kan? Sementara coba Serlina lihat, lihat kehidupan burung-burung, hewan lain, mereka juga hidup ada yang lahir dan pergi, kadang tak memiliki orang tua, semua masih bisa bahagia.” Ibu memeluknya.
“Tapi, akukan masih kecil, Bu,” ujarnya lirih.
“Tak perlu memandang kecil atau kita telah besar, Nak. Segala sesuatu telah ditakdirkan olehNya. Yang penting kita selama masih diberikan kehidupan harus menjalaninya dengan baik, ya,” ucap Ibu sambil menghapus air mata putri bungsunya itu.
“Tapi, mengapa Bapak harus pergi ketika aku masih kecil?”
“Nah, mungkin Allah ingin engkau menjadi anak yang kuat, mandiri,” sambut ibu sembari tersenyum, membelai rambut gadis kecil itu.
Serlina mulai merasa terhibur. Tetapi, tidak merubah kenakalannya. Kesedihannya pun berangsung-angsur pudar karena ia disibukkan dengan bermain dan membantu ibunya di kebun.
Di sekolah Serlina sering datang terlambat. Alasannya karena tak ada lagi Bapak yang mengantarkannya ke sekolah. Padahal ia dapat saja pergi bersama Kakak, yang setiap hari selalu rajin bangun pagi.
Pekerjaan di sekolah pun, terkadang dilalaikannya karena ia sering tertidur saat mengerjakan tugas. Ia menjadi malas bertanya jika ia tak mendapatkan jawaban yang cepat. Beberapa kali ia gagal mengikuti ujian mengaji, dan Serlina pun sampai kelas 4 SD masih belum bisa mengendarai sepeda. Sejak ia terjatuh di sungai kebun sawit, ia tak mau lagi belajar bersepeda. “Kapok, Bu,” dalihnya jika ditanya.
